El-Ndien

Blog Penampung Karya_Q

Fakhruddin ‘Iraqi(Lama’at kilau-kemilau Ilahi)

1. Pendahuluan

Tasawuf adalah cara hidup manusia yang semata-mata hanya untuk mencari kasih sayang Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya adalah agar manusia dapat mendekatkan diri pada Allah dan bersatu dengan-Nya. Tasawuf juga dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk spritualitas dalam Islam dan merupakan perjuangan kejiwaan dalam melawan setiap keinginan yang dapat membelokkan dan menjauhkan manusia dari jalan Tuhan. Seorang sufi yang ingin menempuh jalan menuju Tuhan dan berada sedekat mungkin dengan-Nya, ia harus melalui beberapa tingkatan dan tingkatan yang paling tinggi adalah tingkatan yang berakhir dengan rasa bersatu dengan Tuhan (al-Ittihad). Karenanya, intisari tasawuf adalah untuk mendekatkan kesadaran seseorang akan adanya komunikasi atau dialog antara ruh manusia dengan Tuhannya.[1]

Tradisi sufi bagaikan sebuah taman yang sangat luas di mana banyak bunga dengan aroma dan warna yang berbeda ditanam, masing-masing bunga sangat menarik dan indah, masing-masing merefleksikan satu aspek taman surgawi dengan bentuknya yang khas. Terdapat banyak karya sufi tertentu yang lebih terkesan praktis dan operatif, yang lain mengekspresikan tradisi doktrin-doktrin metafisis dan kosmologis, sementara kelompok yang lain menggunakan hikayat untuk menyampaikan pesan tasawuf.

Di taman misteri-misteri Ilahi inilah terdapat beberapa bunga dengan aromanya yang semerbak telah dinikmati selama beberapa abad di seluruh penjuru dunia. Salah seorang dari mereka adalah Fakhrudin ‘Iraqi dengan karya sastra Persianya yang sangat terkenal, Lama’at.

Dalam makalah yang sederhana ini, penulis mencoba memberikan sebuah pemaparan tentang riwayat hidup ‘Iraqi, corak tasawufnya, dan sekelumit tentang Lama’at.

2. Fakhrudin ‘Iraqi

2.1. Situasi Umum pada Masa ‘Iraqi

‘Iraqi hidup pada abad VII/XIII di mana spiritual Islam sampai pada puncak kebangkitannya, sebuah masa yang menyerupai gema abad penyebaran agama Islam di mana Riyadhah dan Mujahadah (perjuangan batin) lebih diperkuat dari abad-abad sebelumnya.[2] Dia hidup sezaman dengan Ibn ‘Arabi, Jalaludin Rumi, Shadruddin Qunawi, Najmuddin Kubra, dan al-Hasan al-Syadzili, tokoh-tokoh yang ajarannya mendominasi spiritualitas Islam hingga saat ini. Abad ini merupakan puncak dari Tasawwuf Cinta (Mahabbah).

2.2. Riwayat Hidup ‘Iraqi

Fakhrudin Ibrahim, biasa di panggil ‘Iraqi,[3] lahir di Kamajan dekat kota Hamadan pada tanggal 10 Juni 1213 M. Ia wafat pada 8 Dzulqa’dah 688/ 23 november. Dan Ia merupakan seorang filsuf dan mistik Persia dari tradisi Islam.[4] Para leluhurnya merupakan seorang ilmuan dan budayawan. Sebulan sebelum kelahirannya, ayahnya bermimpi bertemu Ali bin Abi Thalib dan para wali yang dalam mimpinya tersebut Ali memberinya seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi penguasa dunia. Sang ayah pun terbangun dari tidurnya dengan bahagia. Ketika ‘Iraqi lahir, wajahnya sama dengan wajah anak laki-laki yang dalam mimpinya.

‘Iraqi tumbuh sebagai anak yang cerdas. Pada usia 5 tahun ia sudah disekolahkan, dan pada usia 9 tahun ia telah hafal Alquran. Ia mempunyai kebiasaan menyenandungkan Al-quran dengan suara yang merdu setiap pagi, terkadang ia menangis sehingga seringkali membuat orang yang mendengar suara merdunya menjadi sedih dan gelisah. Kala berusia 8 tahun ia sudah terkenal di seluruh Hamadan. Dan pada usia 17 tahun, ‘Iraqi telah belajar semua ilmu pengetahuan, yang naqli dan yang ‘aqli, dan ia telah siap untuk mulai mengajar.

Dalam masalah spiritual, ‘Iraqi berguru pada Syekh Bahauddin Zakariya Multani di Multan (sekarang Pakistan). Beliau berasal dari suku Quraisy yang menjadi pimpinan tarikat Suhrawardi. ‘Iraqi belajar di Multan selama 25 tahun. Selama itu, ia terus menggubah puisi dan mengembangkannya yang hidup hingga saat ini diseluruh dunia berbahasa Persia, termasuk India. Setelah Bahauddin meninggal, ‘Iraqi menjadi penggantinya menjalankan amanah memimpin tarikat yang didirikan oleh Syihabuddin Suhrawardi al-Baghdadi (539/1145-632/1234) tersebut.

Ketika di Konya, ‘Iraqi berteman baik dengan Jalaludin Rumi (w. 672/1273). Ia termasuk pengagum Rumi. Ia sering mengikuti dan menghadiri sesi musik, seni, puisi, dan tarian Rumi. Tak heran jika Rumi banyak memberikan pengaruh dalam karya spiritual dan kreatifnya. Selain itu, ‘Iraqi juga berguru pada Shadruddin Qunawi. Bagi ‘Iraqi, Qunawi adalah syekh kedua setelah Bahauddin yang telah membentuknya secara intelektual.[5]

Riyadhah spiritual ‘Iraqi, sebagaimana setiap sufi, tentulah tidak melalui literatur atau bahkan pendidikan relegius formal. Ia melalui pertapaan (initiation) dan disiplin spiritual. ‘Iraqi menjadi sebuah karya sastra sebelum ia mengahasilkan sastra. Bila ia menyanyikan lagu hubb ilahi (cinta ilahi) dalam keindahan ayat-ayat yang agung, itu karena jiwanya telah menjadi lagu Ilahi, sebuah melodi dalam harmoni , dan sebuah nada dari musik yang dilantunkan dari kediaman Yang Tercinta.

‘Iraqi adalah seorang ‘arif (gnostic) yang berbicara dengan bahasa cinta. Baginya, sebagaimana tasawuf umumnya, cinta tidaklah sejajar dengan pengetahuan. Ia adalah pengetahuan yang sebenarnya. Al-Haqq, yang bagai sebuah kristal atau bintang yang bersinar dalam fikiran, menjadi anggur kala ia dihidupkan dan dinyatakan. Ia membanjiri seluruh manusia, yang merenggut akar kesadaran profannya dari dunia impermanent (tidak abadi) ini dan yang membawa ke sebuah kemabukan yang merupakan keniscayaan pasti dari hubungan antara jiwa manusia dan alam ruh yang tanpa batas. Tapi ‘Iraqi adalah seorang sufi berbakat terutama dalam mengekspresikan ‘misteri-misteri wahdah’ (union) dalam bahasa cinta.

2.3. Karya ‘Iraqi

Setelah berguru pada Bahauddin, ‘Iraqi banyak menghasilkan karya sastra Persia yang mempersatukan teoretis dan praktis elemen ajaran Sufi. Dalam risalahnya, ia menggunakan cara khusus dan sederhana yang banyak disukai karena sentuhan penjelasan, musikalitas, tantangan bahkan goncangan. Ia mempunyai kemampuan mengekspesikan ajaran-ajaran tasawuf dengan sangat mendalam dengan gaya bahasa yang gamblang dan juga sederhana. Karya terbesarnya yang sangat terkenal dan banyak dijadikan rujukan adalah Lama'at yang merupakan intisari dari Fushush al-Hikam karya tokoh besar tasawuf Andalusia, Ibnu Arabi.[6]

3. Lama’at

Tiap hari, setelah mengikuti kuliah Qunawi tentang Fushush, ‘Iraqi berkeinginan mengubah sebuah renungan ringkas dalam campuran prosa dan ayat. Akhirnya dia mengoleksinya dan menyebutnya Lama’at (Flashes [Kilau-Kemilau]). Model yang digunakan oleh ‘Iraqi untuk gaya komposisi karyanya tersebut adalah Sawanih buah pena Ahmad Ghazali.[7] Dalam mengadopsi gaya ini, ‘Iraqi mengembangkan filsafatnya sendiri tentang Cinta; dia meminjam beberapa terminologi Ghazali dan Ibn ‘Arabi, tapi seluruh konsep dan sintesis adalah miliknya. Melalui karyanya ini, teosofi Ibn ‘Arabi dilukiskan kembali dan diintegrasikan ke dalam tradisi puisi Persia.[8] Tak salah jika Qunawi menyebut Lama’at sebagai intisari Fushush al-Hikam.

Sebagaimana sekelumit penjelasan di atas, Lama’at merupakan karya terbesar ‘Iraqi. Lama’at merupakan bentuk plural dari lam’ yang bermakna kilau-kemilau. Karya sastra ini berisi 28 bab yang mengandung renungan-renungan campuran prosa dan ayat. Karya ini termasuk sebuah tipe utama sastra sufi yang di dalamnya terdapat doktrin Ma’rifah (gnostik) yang paling murni diekspresikan dalam bahasa cinta (al-Mahabbah).

Dalam perjalanan sejarah dunia sufi, Lama’at merupakan karya utama ketiga dalam karya sufi genre Madzhab Cinta. Karya-karya sufi dalam sastra Persia sebelumnya yaitu Sawanih fi al-‘Isyq karya Ahmad al-Ghazali. Kemudian, karya sastra yang luar biasa dan spiritual masterpiece ini diikuti oleh Risalah fi Haqiqat al-‘Isyq karya pendiri madzhab Iluminasi, Syihabuddin Suhrawardi. Kemudian selanjutnya disusul oleh Lama’at. Karya ‘Iraqi ini menjadi begitu terkenal di Persia dan India serta menjadi sumber inspirasi bagi sejumlah risalah berikutnya di kedua negeri tersebut dan telah diberi komentar oleh Abd al-Rahman Jami (w. 898 H/1492 M).[9] Di samping itu, ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa Lama’at adalah karya sastra sufi terindah yang pernah ada.

4. Kesimpulan

Dari sekelumit penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

1) ‘Iraqi bernama asli Fakhruddin Ibrahim. Ia dilahirkan di desa Kamajan dekat kota Hamadan pada 10 Juni 1213 M/610 H. Ia merupakan seorang sufi dan filosof yang pandai dalam sastra Persia. Ia mengetahui dengan baik sekali ajaran gnostik (ma’rifah) dan metafisik. Ia adalah penganut metafisika madzhab Ibn ‘Arabi sekaligus sastra tasawuf Persia yang berpuncak pada Rumi.

2) Lama’at merupakan karya terbesar ‘Iraqi yang terdiri dari 28 bab yang merupakan intisari dari Fushush al-Hikam karya Ibn ‘Arabi. Lama’at berisikan renungan-renungan dalam bentuk campuran prosa dan ayat. Karyanya ini dinilai sebagai karya utama ketiga dalam sastra sufi Persia. Karya ini juga sangat terkenal di Persia dan India serta dijadikan rujukan di kedua Negara tersebut.





Daftar Pustaka

Chittick, William C. 2001. Jalan Cinta Sang Sufi. Diterjemahkan oleh Sadat Ismail dan Achmad Nidjam. Yogyakarta: Qalam.

Chittick, William C. dan Peter Lamborn Wilson. 2001. Fakhruddin ‘Iraqi: Lama’at (Kilau-Kemilau Ilahi). Terjemahan oleh Hodri Ariev. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hamka. 2005. Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas.

http://www.wikipedia.com

Sangidu. 2003. Wahdatul Wujud, Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsudin as-Samatrani dengan Nuruddin ar-Raniri. Yogyakarta: Gama Media.



[1] Sangidu. 2003. Wahdatul Wujud, Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsudin as-Samatrani dengan Nuruddin ar-Raniri. Yogyakarta: Gama Media. Halaman 4. Lihat juga Harun Nasution. 1999. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Halaman 53 dan Abdul Qadir Djaelani. 1996. Koreksi terhadap Ajaran Tasawuf. Jakarta: Gema Insani Press. Halaman 14.

[2] Hamka. 2005. Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas. Halaman 132.

[3] William C. Chittick dan Peter Lamborn Wilson. 2001. Fakhruddin ‘Iraqi: Lama’at (Kilau-kemilau Ilahi. Terjemahan oleh Hodri Ariev. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Halaman 51.

[4] http://www.wikipedia.com

[5] William C. Chittick dan Peter Lamborn Wilson. Halaman 58-67.

[6] ‘Iraqi telah menyelesaikan karyanya, Lama’at, ia mengajukannya pada Qunawi untuk persetujuan. Syeikh Qunawi mwencium buku itu dan menempatkannya di hadapan matanya (seperti orang melakukan pada sebuah kitab suci). Kemudian dia berseru, “’Iraqi, kau telah mempublikasikan rahasia kata-kata orang. Lama’at sebenarnya intisari Fushush!” (William C. Chittick dan Peter Lamborn Wilson. Halaman 71-72). Lihat juga http://www.wikipedia.com

[7] Dia adalah adik kandung sufi penulis terkenal Abu Hamid Al-Ghazali. (William C. Chittick. 2001. Jalan cinta Sang Sufi. Diterjemahkan oleh Sadat Ismail dan Achmad Nidjam. Yogyakarta: Qalam. Halaman 1) Dia, sebagaimana ‘Iraqi, adalah seorang sufi Madzhab Cinta (School of Love). Dia juga pandai dan ahli dalam berbahasa Persia. Karyanya, Sawanih fi al-’Isyq (Sparks of Love), meringkas sejumlah renungan yang secara longgar dihubungkan dengan tema-tema Cinta, Kecantikan, pecinta, Yang tercinta (Kekasih), diselang-seling dengan puisi dan anekdot-anekdot yang ditulis dalam suatu cara yang padat tapi jelas dan mewah. Karyanya ini banyak mempengaruhi ‘Iraqi.

[8] Chittick, William C. dan Peter Lamborn Wilson. Halaman 71. Lihat juga al-Nasus, halaman 294/209; I’jaz al-Bayan, halaman 115-118/224-226; al-Fukuk, halaman 233-234.

[9] Dia adalah salah seorang tokoh sastrawan sufi dan filosof besar yang merupakan salah seorang pengikut Ibn ‘Arabi.

read more “Tasawwuf”

read more “ilmu kalam”